Iklan

Iklan

I Bueten Mate Ama,Gere I Bueten Mate Ine

Redaksi
Jumat, 28 Mei 2021, 19:48 WIB


Sastrapunya.com | I Bueten Mate Ama,Gere I Bueten Mate Ine Tuturan ini merupakan  suatu tuturan yang sangat digunakan oleh masyarakat suku Gayo, ketika mereka sedang dihadapkan pada dua pilihan. Yang mana kedua pilihan yang sedang mereka hadapi tersebut kedua-duanya penting dan sangat berarti bagi mereka.


Umumnya, bentuk pilihan yang dihadapkan kepeda indevidu dalam konteks ini, adalah pertama dalam kaitan materi yang berhubungan dengan kebutuhan fisik, yang kedua dihadapkan dalam bentuk non-benda (non-materi) dalam hal ini sangat berkaitan dengan rasa atau perasaan dan hati. Dan, tidak jarang juga indevidu dihadapkan kedua-dua pilihannya berbentuk benda atau materi untuk kebutuhan fisik, dan ada juga kedua-duanya berbentuk non-benda yang berkaitan dengan perasaan dan hati.


Fenomena ini sering dihadapi oleh setiap manusia, ada yang kasusnya berkaitan dengan urusan keluarga, ada yang kejadiannya pada ruang lingkup pekerjaan, dan ada juga di masyarakat. Salah satu bentuk kasus "i bueten mate ama, gere i bueten mate ine", yakni pada saat covid-19 (corona virus), ketika keluar aturan PSBB di beberapa daerah. Istilah Kite ni, Gere Nguk Gajah, Gere NguK Kule DLL, 

Yang  sangat kesulitan bagi mereka  dalam menangani hal ini adalah, jika para tenaga medis, tidak melayani pasien sementara itu adalah sudah menjadi profesi mereka dan mereka membiayai keluarganya hasil dari pekerjaan tersebut, jika mereka melayani (merawat) kalau tidak tinggi tingkat kewaspadanya melaksankan dengan SOP, maka virus tersebut bisa saja menular menyerang tenaga medis tersebut.


Adalagi, sangat sulit mengambil keputusan yang sangat bertentangan dengan sipat kemanusiaan dan ketuhanan, jika ada yang meninggal korban corona-virus tersebut, letak kesulitannya sewaktu mengerjakan pardu kipayahnya. Dan, masih ada kesulitan-kesulitan yang sangat sulit untuk diputuskan oleh manusia ketika pilihan semacam ini dihadapkan kepada manusia itu.


Kasus ini ada juga terjadi ketika ada pertengkaran antara dua orang, yang membuat kesulitan untuk menentukan sikap dalam konteks ini, misalnya, para pihak pertama saudara si istri dan para pihak kedua saudara si suami, atau seperti ada kasus  tentang jabatan politik diterima masukan dari golongan pendukung ini bertentangan dengan masyarakat banyak dan bertentangan dengan batinnya, jika tidak didengarkan mereka itu sudah matian-matian memperjuangkan hingga mendapatkan jabatan tersebut


Fenoma-fenoma tersebut di atas jika tidak dirembukan secara bersama-sama ini sangat membuat bingung sampai-sampai orangnya tersebut bisa saja stress. Tetapi, di suku Gayo ternyata ada tawaran solusi menurut saya konsep ini dapat memperoleh keputusan sangat bijak, seperti yang sering diungkapan oleh orang tua di Gayo "lipe boh mate, ranting enti sawah mupolok" atau 'usahakan ular itu bisa mati tetapi rantingnya usahakan jangan sampai patah'. Maksudnya, selesaikan permasalahan itu dengan tidak mengorbankan satu pihak pun.


Selanjutnya, konsep dan metode yang ditawarkan oleh suku Gayo dalam konteks ini adalah "akal kin pangkal kekire kin belenye". Artinya apa, yakni gunakan dan fungsikanlah "pikiran' dan "akal" dengan baik, agar tidak ada satupun yang dirugikan. Dalam menentukan bagaimana sebenarnya melaksanakan metode ini, sehingga kedua-duanya terlindungi, ternyata mereka menggunakan  pendekatan sistem konsef dasar norma adat yang mereka yakini, yakni " Adat peger ni Agama"


Dalam konsef dasar ini, ternyata suku Gayo jaman dahulu dalam menyelesaikan kedua kasus tersebut, jika sudah mereasa kesulitan dalam menentukan keputusan, maka mereka langsung bermajelis, yaitu bermusyawarah bersama dengan menerapkan pendekatan adat dan pendekatan agama (islam), pengakuan salah seorang tokoh adat berpendapat, alasan diadakan dengan pendekatan agama (Islam) karena makna agama itu adalah 'akal' dan makna Islam itu adalah 'damai'.


Jadi, penerapan adat dalam konteks ini adalah agar tindakan-tindakan yang dilakukan bernilai adab (beradab) dan pendekatan agama Islam yang dilakukan, karena petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalamnya bertujuan untuk kenyamanan dan kedamaian bersama, itu yang terdapat di dalam akal dan pikiran yang bernilai Islam. Oleh sebab itu berkemungkinan besar suku Gayo dahulu memiliki sipat "mukemel" (Budaya malu), artinya dalam konteks keGayoan, yakni bermakna malu jika tidak bisa berbuat  baik.

Semoga perbuatan baik kita, mendapat nilai yang baik di hadapan allah SWT, dan Semoga Karya Kita di Hargai dalam Orang Lain.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • I Bueten Mate Ama,Gere I Bueten Mate Ine

Terkini

Iklan

Close x